Selasa, 14 Juni 2011

sosiologi



SOSIALISASI

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah:Pengantar Sosiologi

Dosen pengampu : DRS. SABARUDIN







oleh :

LISYA MUHAMMAD NUR
10411054
2 PAI B


PENDIDIDKAN  AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN  KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM  NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011



A . Pendahuluan
Sejak berabad–abad, rasa ingin tahu orang telah terpancing oleh pertanyaan mengenai apa yang bersifat manusiawi pada sifat manusia. Sejauh manakah ciri–cirri orang berasal dari “alam”, sejauh mana dari “asuhan”, kontak dengan orang lain? salah satu cara untuk menjawab pertanyaan ini ialah dengan cara mempelajari manusia yang kontaknya dengan manusia lain terbatas.
Masyarakat menjadikan kita manusiawi, nampaknya bayi tidak “secara alami” berkembang menjadi manusia dewasa. Meskipun tubuh mereka tumbuh, namun bila anak di asuh dalam keadaan terisolasi maka mereka hanya akan tumbuh menjadi binatang yang besar. Tanpa konsep – konsep yang di berikan oleh bahasa, mereka tidak dapat mengalami atau bahkan memahami hubungan antar manusia(“hubungan – hubungan” yang kita sebut kakak – adik laki – laki, kakak – adik perempuan, teman, guru, dan sebagainya). Tanpa interaksi yang hangat dan “bersahabat” dalam artian yang telah kita pahami, mereka pun tidak bekerja sama dengan orang lain. Singkatnya, melalui kontak manusialah orang dapat belajar menjadi anggota komunitas manusia. Proses melalui mana kita belajar cara – cara masyarakat(atau kelompok tertentu) ini, yang dinamakan sosialisai(socialization), adalah apa yang ada dalam benak para sosiolog di kala mereka berkata “ masyarakat menjadikan kita manusiawi”.






B . Pembahasan
1)    Sosialisasi dalam Diri
Di kala lahir, kita tidak mengetahui bahwa kita adalah makhluk terpisah. Kita bahkan tidak tahu apakah kita laki – laki atau perempuan. Bagaimana kita mengembangkan suatu self, gambaran yang kita miliki mengenai bagaimana orang lain memandang diri kita, citra kita mengenai siapa kita ini ?
Kepribadian sangat perlu diketahui dan dipelajari, karena kepribadian sangat berkaitan erat dengan pola penerimaan lingkungan social terhadap seseorang. Orang yang memiliki kepribadian sesuai dengan pola yang dianut masyarakat lingkungannya, akan mengalami penerimaan yang baik.[1]
Di tahun 1800, seorang penganut interaksionisme simbolik[2], menyimpulkan bahwa segi khas dari “kemanusiawian” (hummaness) diciptakan secara social, perasaan mengenai diri kita berkembang dari interaksi dengan orang lain, istilah looking-glass self di ciptakan olehnya[3], untuk menggambarkan proses – proses perasaan mengenai diri kita berkembang.
Looking glass self mengandung 3 unsur :
1.      kita membayangkan bagaimana kita nampak bagi mereka di sekeliling kita. Sebagai contoh, kita dapat berfikir bahwa orang lain menganggap kita jenaka ataukah membosankan.
2.       kita menafsirkan reaksi orang lain. Kita menarik kesimpulan mengenai bagaimana orang lain mengevaluasi kita. Apakah lingkungan menyukai kita karena kita jenaka ? ataukah sebaliknya, lingkungan tidak menyukai kita karena membosankan ?
3.       kita mengembangkan suatu konsep diri (self concept). Cara kita menginterpretasikan reaksi orang lain terhadap kita memberikan kita perasaan dan ide mengenai diri kita sendiri. Suatu refleksi yang menyenangkan dalam cermin social ini mengarah pada suatu konsep diri yang positif, suatu refleksi yang negative mengarah ke suatu konsep diri negative.
Harap dicatat bahwa pengembangan diri tidak tergantung pada evaluasi yang akurat. Meskipun penafsiran kita tent5ang bagai mana orang lain berpikir mengenai kita sangat keliru, kekeliruan penilaian ini menjadi bagian dari konsep diri kita. Harap dicatat pula bahwa, meskipun konsep diri di mulai sejak masa kecil, perkembangannya merupakan suatu proses berkelanjutan sepanjang hidup. Ketiga langkah dalam Cooley (Looking glass self) merupakan bagian kehidupan sehari-hari[4]. Menurut seorang penganut interaksionisme, George Herbert Mead bahwa bermain sangat penting dalam pengembangan diri. Didalam permainan, anak-anak bel;ajar untuk mengambil peran orang lain (take the role of the other), yaitu menempatkan diri ditempat orang lain sampai memahami bagaimana orang tersebut akan bertindak[5].
Psikolog Jhon Flavel (1968 mencoba teorinya Mead), meminta anak-anak berusia 8 dan 14 tahun untuk menjelaskan suatu permainan papan kepada kepada beberapa orang anak yang matanya ditutup dan kepada orang lain yang matanya tidak ditutup. Anak-anak yang berusia 18 tahun memberikan lebih banyak instruksi rinci kepada anank yang matanya ditutup, tetapi anak-anak 8 tahun memberikan instruksi sama kepada semua orang. Hal ini berarti anak-anak yang lebih muda belum dapat mengambil peran orang lain, sedangkan anak yang lebih tua dapat melakukannya.
Dikala mereka mengembangkan kemampuan ini, anak-anak mula-mula hanya mampu mengambil peran orang lain yang signifikan (significant others), yaitu orang-orang yang secara signifikan mempengaruhi hidup mereka, seperti misalnya orang tua atau saudara kandung. Dengan mengambil peran meraka dalam bermain, seperti mengenakan busana orang tua mereka, anak-anak memupuk kemampuan untuk menempatkan diri mereka ditempat orang lain yang signifikan.
Pengambilan peran orang lain sangat penting bilamana kita menjadi anggota yang kooperatif dalam kelompok manusia, apakah itu keluarga kita, teman, atau rekan kerja. Kemungkinan ini memungkinkan kita untuk mengubah perilaku kita dengan mengantisipasi bagaiman orang lain akan bereaksi.
Pembelajaran mengambil peran orang lain melewati tiga tahap menurut Mead, yaitu:
·         Tahap 1: Imitasi (imitation), anak-anak dibawah usia 8 tahun; Tidak ada rasa diri, Meniru orang lain. “menurut Kelvin Seifert proses peniruan ini biasanya status social yang lebih tinggi cenderung sering menjadi contoh ketimbang mereka yang memiliki status social yang lebih rendah”[6]. Tahap ini sebenarnya bukan pengambilan peran, akan tetapi persiapan anak kearah pengambilan peran. “D[7]idalam permainan, anak-anak akan mengalami proses belajar dan memperoleh pengalaman”
·         Tahap 2: Permainan (play), usia 3 sampai 6; bermain “berpura-pura” menjadi orang lain. Seperti menjadi super hero (spiderman, zoro, dan sebagainya). Dalam tahap ini mereka pun menyukai kostum dan suka mengenakan busana orang tua mereka dan mengikat sebuah handuk di lehernya untuk “menjadi” Superman atau Batman. “”
·         Pada tahap 3: Pertandingan (game), setelah usia sekitar 6 atau 7 mereka dapat melakukan pertandingan tim yaitu permainan yang terorganisasi. Dalam permainan ini anak-anak harus dapat mengambilo peran majemuk. Seperti permainan bola kaki, voley, bisbol dan lain sebagainya.
Mead juga mengatakan bahwa diri kita terdiri atas dua bagian : “I” dan “me”. “I” adalah diri kita sebagai subjek, yang aktif, spontan, dan kreatif. “me” terdiri atas sikap yang telah kita internalisasikan dari interaksi kita dengan orang lain.   
2)    Sosialisasi Ke Dalam Pikiran Atau Nalar
Suatu bagian pokok dari menjadi manusia ialah kemampuan untuk menggunakan nalar (reason). Bagaimana kita mempelajari keterampilan ini ?
Pertanyaan ini membangkitkan rasa ingin tahu Jean Piaget (1896-1980), seorang psikolog Swiss, yang mengamati bahwa anak – anak usia muda memberikan jawaban salah yang sama pada tes kecerdasan. Ia berfikir bahwa anak – anak yang lebih muda mungkin menggunakan suatu aturan yang tidak benar untuk menemukan jawaban mereka. Mungkin anak – anak menjalani suatu proses alami di kala mereka belajar untuk menggunakan nalar[8].
Setelah melakukan tes bertahun – tahun Piaget menyimpulkan bahwa anak – anak melalui 4 tahap ketika mengembangkan kemampuan penalaran.
4 tahap penalaran Piaget :
1 . Tahap sensorimotor ( sensorimotor stage, usia Sejak lahir sampai sekitar 2 tahun)
Selama tahap ini pemahaman anak terbatas pada kontak langsung dengan lingkungan : menghisap, menyentuh, mendengar, melihat. Bayi tidak berfikir dalam artian yang kita pahami. Contoh, bayi tidak dapat mengenal sebab dan akibat.
2 .Tahap pra-operasional (preoperational stage, dari sekitar usia 2 sampai 7 tahun)
Selama tahap ini anak – anak mengembangkan kemampuan untuk menggunakan symbol. Namun mereka belum memahami konsep umum seperti ukuran, kecepatan, atau sebab – akibat. Meskipun mereka dapat menghitung, namun mereka tidak benar – benar memahami makna angka.  
3 . Tahap operasional konkret (concrete operational stage, usia sekitar 7 sampai 12 tahun)         
Meskipun kemampuan penalaran lebih berkembang, namun kemampuan tersebut tetap kokret. Sekarang anak – anak dapat memahami angka, sebab – akibat, dan kecepatan. Serta mereka mampu mengambil peran orang lain dan berpartisipasi dalam permainan tim. Namun tanpa adanya contoh konkret mereka ridak dapat berbicara mengenai konsep seperti kebenaran, kejujuran, atau keadilan.
            4 . Tahap operasional formal (formal operational stage,setelah usia 12 tahun)
                        Sekarang anak – anak sudah mampu berbicara mengenai konsep, menarik kesimpulan atas dasar prinsip umum, dan menggunakan aturan untuk memecahkan masalah yang abstrak. Selama tahap ini anak – anak cenderung menjadi ahli filsafat muda[9].



3)    Sosialisasi Dan Emosi
Menurut L. Crow & A. Crow, emosi adalah pengalaman yang efektif yang disertai oleh penyesuaian batin secara menyeluruh, dimana keadaan mental dan fisiologi sedang dalam kondisi yang meluap-luap, juga dapat diperlihatkan dengan tingkah laku yang jelas dan nyata[10].
Emosi pun bersifat mendasar dalam membentuk kita, dan para sosiolog akhir – akhir ini telah memulai penelitian mereka terhadap bidang “kemanusiawian” kita ini. Mereka menemukan bahwa emosi oun bukan hanya semata – mata hasil biologi, namun seperti halnya fikiran, tergantung pada sosialisasi[11].
            Emosi timbul dari rangsangan (stimulus), stimulus yang sama mungkin dapat menimbulkan emosi yang berbeda-beda dan kadang-kadang malah berlawanan. Adanya stimulus yang muncul dari dorongan, keinginan,atau minat yang terhalang, baik disebabkan oleh tidak atau kurangnya kemampuan individu untuk memenuhinya atau menyenangkanya. Intensitas dan lamanya respon emosional sangat ditentukan oleh kondisi fisik dan mental dari individu itu sendiri. Kita mengekspresikan emosi kita secara lebih terbuka jika kita bersama teman dekat, dan sebagian besar sosialisasianak bepusat pada pembelajaran “norma emosi” ini, bagaimana mengekspresikan emosi kita dalam berbagai lingkungan yang berbeda.







C. Kesimpulan
            Sulit dimengerti kalau seseorang mengatakan tidak mau berhubungan dengan orang lain, entah dengan alasan apapun. Sejak kecil kita semua telah terbiasa tergantung pada lingkungan social kita. Dan sebagian besar sosialisasi kita dimaksudkan untuk menjadi anggota masyarakat yang baik.
Sosialisasi merupakan suatu hal yang mendasar bagi perkembangan kita sebagai manusia. Dengan berinteraksi dengan orang lain, kita belajar bagaimana berpikir, mempertimbangkan dengan nalar, dan berperasaan.


           











Daftar Pustaka

Henslin, James M. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi, Penerbit Erlangga 2007.
Jaali, Haji. Psikologi Pendidikan ; editor, Tarmizi. –Ed. 1, Cet. 3. – Jakarta : Bumi Aksara, 2008. X, 138 hlm..; 21cm.
Diecahyouinyogya.blog.com/psikologi perkembangan.         
Seifert, Kelvin. Manajemen pembelajaran & instruksi pendidikan,. Yogyakarta : IRCiSoD, 2009.
L. Crow & A. Crow, Education Psychology, terjemahan  Abd. Rachman Abbor, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1989).











[1] Prof. Dr. H. Djaali, Psikologi Pendidikan. Kepribadian dalam pendidikan. Hal. 1
[2] Charles Horton cooley (1864-1929) di university of Michigan
[3] Ibid  1902
[4] Ibid  (Looking glass self) 1864-1929
[5] George Herbert Mead  (take the role of the other) 1863-1931
[6] Kelvin Seifert, Manajemen Pembelajaran & Instruksi Pendidikan. Hal.71
[7] Diecahyouinyogya.bloh.com Psikologi Perkembangan
[8] Piaget 1950, 1954; Flavel et al. 2002
[9] Kagan 1984
[10] L. Crow & A. Crow, Education Psychology, terjemahan  Abd. Rachman Abbor, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1989), hal. 98.
[11] Hochschild 1975, 1983; Reiser 1999, Turner 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar