Jumat, 21 Januari 2011

problem aktual pendidikan


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Permasalahan Aktual Pendidikan di Indonesia
Pendidikan selalu menghadapi masalah, karena selalu terdapat kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan hasil yang dapat dicapai dari proses pendidikan. Permasalahan actual berupa kesenjangan-kesenjangan yang pada saat itu kita hadapi dan terasa mendesak untuk ditanggulangi.
Beberapa masalah actual pendidikan yang akan dikemukakan meliputi masalah-masalah keutuhan pencapaian sasaran, kurikulum, peranan guru, pendidikan dasar 9 tahun, dan pendayagunaan teknologi pendidikan.
Masalah actual tersebut ada yang mengenai konsep dan ada yang mengenai pelaksanaannya. Misalnya kurikulum baru adalah masalah konsep. Apakah kurikulum tersebut cukup andil secara yuridis (merupakan penjabaran undang-undang pendidikan) dan secara psikologis (berdasarkan hokum perkembangan peserta didik) atau tidak. Penjurusan yang berlaku cepat pada SMA misalnya, dianggap tidak mendasarkan diri pada proses kematangan anak. Konsep seperti itu bermasalah. Selanjutnya jika suatu kurikulum sudah cukup andal, dapat dilaksanakan apa tidak. Jika tidak, timbullah masalah pelaksanaan atau masalah operasional. Misalnya konsep tentand Pendidikan Moral Pancasila yang tekanannya pada pendidikan afektif, ternyata dalam pelaksanaannya menjadi pelajaran tentang pengetahuan Pancasila (meng-kognitifkan yang afektif), ini adalah contoh masalah operasional.
Disini perlu dipahami bahwa tidak semua masalah actual tersebut merupakan masalah baru. Bahkan ada yang sudah lama.  Ssudah sejak lama masalah actual itu kita sepakati untuk mengatasinya, tetapi dari tahun ke tahun hasilnya tetap sama. Contoh Pendidikan Moral Pancasilaseperti telah diungkapkan tadi. Berikut ini masalah actual tersebut akan dibahas satu persatu
1.      Masalah Keutuhan Pencapaian Sasaran
Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 4 telah dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional ialah mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Kemudian dipertegas lagi secara rinci di dalam GBHN butir 2a dan b, tentang arah dan tujuan pendidikan bahwa yang dimaksud dengan manusia utuh itu adalah manusia yang sehat jasmani dan rohani, manusia yang memiliki hubungan secara vertical (dengan Tuhan) dan Horizontal (dengan lingkungan dan masyarakat), dan konsentris (dengan diri sendiri), yang berimbang antara duniawi dan ukhrawi. Jadi konsepnya sudah cukup baik. Tetapi di dalam pelaksanaannya pendidikan afektif belum ditangani semestinya. Kecenderungan mengarah kepada pengutamaan pengembangan aspek kognitif. Pendidika agama dan Pendidikan Moral Pancasila misalnya yang semestinya mengutamakan penanaman nilai-nilai bergeser kepada pengetahuan agama dan Pancasila. Keberhasilan pendidikan dinilai dari kemampuan kognitif atau penguasaan pengetahuan. Pengembangan daya piker dinomorsatukan, sedangkan pengembangan perasaan dan hati terabaikan. Padahal untuk pengembangan perasaan dan hati agar memahami nilai-nilai tidak cukup hanya berkenalan dengan nilai-nilai melainkan harus mengalaminya. Dengan mengalami peserta didik dibuka kemunhgkinannya untuk menghayati hal-hal seperti kepercayaan diri, kemandirian, keyakinan dan ketaqwaan terhadap Yuhan Yng Mha Esa, penghargaan terhadap waktu dan kerja, kegairahan belajar, kedisiplinan, kesetiakawanan social, dan semangat kebangsaan.
Masalahnya, apakah system pendidikan kita member pelung demi terjadinya pengalaman-pengalaman tersebut. Kelihatannya banyak hambatan yang harus dihadapi, antara lain:
a)      Beban kurikulum sudah terlalu sarat
b)      Pendidikan afekti sulit diprogramkan secara eksplisit, karena dianggap menjadi bagian dari kurikulum tersembunyi (hiden curriculum)yang keterlaksanaanya sangat tergantung kepada kemahiran dan pengetahuan Guru.
c)      Pencapaian hasil pendidikan afektif memakan waktu, sehingga memerlukan ketekunan dan kesabaran pendidik.
d)      Menilai hasil pendidikan tidak mudah.
       Di sinilah letak masalahnya jika sasaran pendidikan yang utuh ingin dicapai.
2.      Masalah Kurikulum
Pada bagian ini akan dibahas masalah actual mengenai kurikulum. Masalah kurikulum meliputi masalah konsep dan masalah pelaksanannya. Yang menjadi sumber masalah ini ialah bagaimana system pendidikan dapat membekali peserta didik untuk terjun ke lapangan kerja (bagi yang tidak melanjutkan study) dan memberikan bekal dasar yang kuat untuk keperguruan tinggi (bagi mereka yang ingin lanjut). Kedua maca bekal tersebut seyogyanya sudah mulai diberikan sejak dini. Benih-benihnya sudah ditanam sejak masa persekolahan dan SD, kemudian dasar-dasarnya sudah diperkuat pada SD. Pada saat itu pendidikan 3R’S (reading, writing, arithmetic) memegang peranan penting karena penguasaan 3R’S yang baik menjadi dasar yang kukuh untuk perkembangan selanjutnya. Saat ini system pendidikan dilaksanakan dengan menggunakan kurikulum 1984 (SK No. 0209/7/U/1984). Yang didesain sebagai penyempurna kurikulum 1975/76. Jika kurikulum 1975/76 berorientasi kepada produk pendidikan dan kurang membenahi proses pembelajaran maka kurikulum 1984 lebih peduli terhadap kualitas proses pembelajaran.
Konsep kurikulum 1984 juga memiliki kelebihan karena adanya keluwesan-keluwesan antara lain:
a)      Disediakannya aneka program belajar, untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dan untuk memasuki lapangan kerja
b)      Adanya program inti yang sifatnya nasional untuk persatuan nasional, memuat pengetahuan minimal dan program khusus A dan B dapat dipilih sesuai dengan kemampuan dan minat siswa.
c)      Adanya program pusat dan program daerah (muatan local)
Konsep yang luwes tersebut cukup baik san ideal. Dalam pelaksanaannya mengandung banyak kerawanan. Dengan disediakannya aneka program belajar sekolah menengah berfungsi ganda, sebagai sekolah umum sekaligus juga sebagai sekolah kejuruan. Kondisi demikian menimbulkan masalah personil khususnya tenaga pengajar, pengorganisasian, fasilitas, administrasi, dan biaya.
Satu segi lagi yang cukup modern dari kurikulum 1984 ialah adanya program daerah (di samping program pusat) yang dikenal sebagai muatan local. Program ini mengatisipasi hari depan pendidikan yang mengarah kepada desentralisasi. Dengan desakan konsep muatan local akan semakin menempati posisi penting dalam kurikulum pendidikan. (H.A.R. Tilaar, 1992: 8)
Sekalipun demikian tetap disadari bahwa pelaksanaan kurikulum ini tidak mudah dan cukup rumit. Disinilah letak masalahnya:
a)      Pemilihan materi muatan local yang tepat
b)      Penyusunan program (disajikan secara monolitik atau secara integrative), juga menentukan pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan, dari dalam dan dari luar lingkungan sekolah.
c)      Koordinasi pelaksanaan
d)      Penyediaan sarana, fasilitas, dan biaya.
Semuanya itu menuntut keterampilan dari para pelaksana dan Pembina pendidikan di lapangan yang harus bergerak sebagai tim dengan ditunjang kemauan yang besar sebagai tekad bersama. Hambatan terbesar dari pemecahan terhadap konsep tersebut bagaimana memasyarakatkannya di kalangan para pelaksana pendidikan di lapangan.
3.      Masalah Peranan Guru
Konsep-konsep baru lahir sebagai cerminan humanism yang memberikan arah baru pada pendidikan. Sejalan dengan itu perkembangan iptek yang pesat menyumbangkan cara-cara baru yang lebih mantap terhadap pemecahan masalah pendidikan. Dalam realisasinya dipandu oleh kurikulum yang selalu disempurnakan. Sejalan dengan itu maka guru sebagai suatu komponen system pendidikan juga harus berubah.
Dahulu pada sekolah sudah dapat beroperasi jika ada murid, guru, dan ruangan tempat belajar dengan beberapa sarana seperlunya, guru merupakan satu-satunyasumber belajar, ia menjadi pusat tempat bertanya. Tugas guru memberikan ilmu pengetahuan kepadamurid. Cara demikian dipandang sudah memadai karena ilmu pengetahuan guru belum berkembang, cakupannya masih terbatas.
Dengan singkat dikatakan tugas guru adalah “membelajarkan pelajar”. Guru mendudukkan dirinya hanya sebagai bagian dari sumber belajar. Beraneka ragam sumber belajar yang hanya justru dapat ditemukan di luar diri guru seperti perpustakaan, taman bacaan, museum, orang-orang pinter, kebun binatang, toko buku dll. Sebagaimana Comenius pernah mengingatkan bahwa alam ini adalah buku besar yang sangat lengkap isinya.
Dari sisi kebutuhan murid, guru tidak mungkin seorang diri melayaninya. Untuk memandu proses pembelajaran murid ia dibantu oleh sejumlah petugas lainnya seperti konselor (guru BP), pustakawan, laboran, dan teknik sumber belajar. Dengan hadirnya petugas lain tersebut guru kini memiliki cukup waktu untuk mengajarkan hal-hal yang semestinya ia lakukan, tetapi selama itu tertelantarkan lantaran ketiadaan waktu karena terpaksa menanggulangi kegiatan-kegiatan yang semestinya dilakukan oleh tenaga-tanaga lainnya. Sekarang kecukupan waktu dapat digunakan untuk:
            Melakukan kontak dan pendekatan manusiawi yang lebih intensif dengan murid-muridnya. Pelayanan kelompok dan individual dalam bentuk memperhatikan kebutuhan, mendorong semangat untuk maju berkreativitas, dan bekerja sama, menumbuhkan rasa percaya diri, harga diri, dan tanggung jawab, menghargai waktu, dan kedisiplinan, menghargai orang lain, dan menemukan jati diri.inilah sisi pendidikan dari tugas seorang guru yang telah lama terabaikan. Dari sini pembelajatan ia diharapkan mampu mengelola proses pembelajaran (sebagai manajer), menunjukkan tujuan pembelajaran (director), mengorganisasikan kegiatan pembelajaran (coordinator), mengkomunikasikan murid dengan berbagai sumber belajar (komunikator), menyediakan dan memberikan kemudahan belajar (fasilitator), dan memberikan dorongan belajar (stimulator).
4.      Masalah Pendidikan Dasar 9 Tahun
Keberadaan pendidikan dasar 9 tahun mempunyai landasan yang kuat. UU RI Nomor 2 1989 Pasal 6 menyatakan tentang hak warga Negara untuk mengikuti pendidikan sekurang-kurangnya tamat pendidikan dasar, dan pasal 13 menyatakan tujuan pendidikan dasar. Kemudian PP Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, pasal 2 menyatakan bahwa pendidikan dasar merupakan pendidikan 9 tahun, terdiri atas program pendidikan 6 tahun di SD dan program pendidikan 3 tahun di SLTP, pasal 3 memuat tujuan pendidikan dasar yaitu, memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembngkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga Negara, dan anggota umat manusia, serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah.
Ketetapan-ketetapan tersebut merupakan realisasi GBHN 1993 tentang arah pendidikan nasional butir 26 yang antara lain menyatakan perlunya peningkatan kualitas serta pemerataan, terutama peningkatan kualitas pendidikan dasar.
Dilihat dari segi lamanya waktu belajar pada pendidikan dasar yaitu 9 tahun (yang di dalam GBHN 1993 butir 2c dinyatakan sebagai pelaksanaan wajib belajar 9 tahun), kita sudah mengalami langkah maju disbanding dengan masa-masa sebelumnya yang menetapkan wajib belajar hanya 6 tahun yaitu tingkat SD. Secara konseptual dan acuan yang diberikan oleh ketetapan-ketetapan resmi tersebut sudah sejalan dengan kebutuhan pembangunan, antara lain:
a)      Untuk memasuki PJPT II diperlukan sumber daya manusia yang lebih berkualitas.
b)      Persyaratan kerja yang dituntut dunia kerja semakin meningkat  sehingga dengan basis pendidikan dasar 9 tahun tentunya lebih baik daripada hanya 6 tahun. Khususnya persyaratan usia, usia tamat pendidikan dasa semakin mendekati usia kerja menurut peraturan Menaker No: Per-01/Men/1987, pasal 1 tentang batas umur layak kerja yaitu 14 tahun.
Dalam pelaksanaannya pendidikan dasar 9 tahun, lebih-lebih pada tahap awal sudah pasti banyak hambatannya, hambatan tersebut ialah:
a)      Realisasi pendidikan dasar yang diatur dengan PP No. 28 Tahun 1989 masih harus dicarikan titik temunya dengan PP No. 65 Tahun 1951 yang mengatur sekolah dasar sebagai bagian dari pendidikan dasar, karena PP tersebut belum dicabut, (H.A.R. Tilaar, 1992:2).
b)      Kurikulum yang belum siap. Jika dalam tahun 1994 ini kurikulum tersebut sudah dapat didistribusikan ke sekolah-sekolah, tentunya sarana penunjang lainnya seperti juklak, buku-buku, dan fasilitas lainnya masih harus ditunggu lagi.
c)      Pada masa transisi para pelaksana pendidikan di lapangan perlu disiapkan melalui bembingan-bimbingan, penyuluhan, penataran, dan lain-lain.
Hambatan lain berasal dari sambutan masyarakat, utamanya dari orang tua/kalangan yang kurang mampu. Mereka mungkin cenderung untuk tidak menyekolahkan anaknya karena harus membiayai anaknya lebih lama. Padahal tidak dapat berharap banyak dari anaknuya untuk segera memperoleh pekerjaan setelah tamat dari sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar